Tahukah Kamu?

Foto oleh kevinrussmobile di Flickr

 

Saat menjadi orang yang bahagia, aku tak berani mereka-reka,

Bagaimana rasanya bersedih.

Kau beri sebuah pemahaman tentang yang paling berpengaruh saat ini.

Bayanganku melayang jauh–jauh dari dasar terdalam samudera.

Kau kah itu? Orang yang bersusah-payah akan datangnya sebuah kebahagiaan dari dua anak manusia?

Aku tak yakin.

Kau terus berlalu-lalang untuk segala sesuatu yang kupikirkan.

“Bisakah kau mempercayaiku?” katamu,

aku tersenyum, ragu.

Lalu ia menampakan sebuah lekuk senyum, yang kuartikan sebagai keadaan yang meyakinkan.

Katanya, “Aku di belakangmu, percayalah.”

Bunga telah mekar, seiring senyum yang kulukis

ketika ia mengucapkan sebaris pemanis.

 

Tapi, itu dulu.

Tentang keraguan, senyum samar, binar mata, dan kepingan kepercayaan.

 

Kau tahu?

Bagaimana aku berusaha untuk terlihat sebanding denganmu?

 

Kau tahu?

Saat aku bercermin pada seorang yang pernah menyinggahi hatimu?

 

Kau tahu?

Bagaimana aku selalu menciptakan sebuah jarak yang hanya bisa kau putus dengan sebuah senyuman?

 

Tahukah kamu?

Saat aku benar-benar berharap dengan sebuah gambaran yang kau ciptakan dengan sebegitu manis?

 

Dan jika saja kau tahu,

bahwa hanya kau yang mampu menghancurkan.

 

Kau bilang, “tidak perlu khawatir.”

Kau bilang, “kau di belakangku.”

Kau bilang, “aku aman.”

Kau bilang, ” aku harus percaya.”

Dan, dengan bodohnya aku mempercayaimu.

Tidakkah kau tahu, aku mempercayai semua omong kosongmu?

Tidakkah kau tahu, aku mempercayaimu seperti orang yang berangan-angan bersamamu?

Tidakkah kau tahu, aku melakukannya seperti hampir gila?

 

Persetan dengan segala demi kebaikan,

kau mendorongku jatuh ke jurang.

 

 

Ngunut, 31 Januari 2016

Tinggalkan komentar